Banyak yang mengatakan pada saya bahwa salah satu kelemahan orang indonesia ialah cengeng, tidak mandiri, sedikit sedikit mengeluh pada Tuhan, sebentar-sebentar minta tolong pada Tuhan,Mau naik pangkat minta pada Tuhan ( memangnya Tuhan petugas yang ngurusi kenaikan pangkat apa?) mau lulus minta pada Tuhan….( kalau mau lulus ya belajar ) lalu dimana eksistensi diriya sebagai manusia?
Ibarat sikap orang tua pada anak-anaknya, Tuhan pasti tidak suka kalau manusia-manusia di bumi ini cengeng dan selalu menyerakahkan semua masalah pada Tuhan. Apa tidak kasihan padaTuhan karena harus menanggung banyak sekali keluhan dan permintaan dari jutaan manusia. Sikap cengeng dan merasa tidak berdaya seperti itu justru tidak bermoral, tidak bertanggung jawab dan lari dari kenyataan. manusia memiliki otoritas untuk mandiri menghadap semua masalah dan menentukan nasibnya sendiri. Tidak bergantung dengan orang lain. Dalam konteks itulah, eksistensi dan matabat manusia akan ditentukan di muka bumi ini. Manusia harus mempunyai etos yang tinggi untuk mengatasi berbagai persoalan dunia.
Mirip dengan ungkapan tersebut, Kenneth Phifer ( dalam esai The Faith of humanist ) menyatakan Tidaklah bermoral mengharapkan Tuhan untuk berkarya atas diri kita. Kita harus bertindak untuk menghentikan peperangan dan kejahatan serta brutalitas di abad ini dan abad yang akan datang. Kita memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu, kita memiliki kebebasan untuk menentukan tindakan kita sendiri.
Ungkapan itu mengingatkan saya kepada kondisi masyarakat indonesia akhir-akhir ini yang mirip dengan situasi abad pertengahan. Ketika itu Eropa diwarnai dengan wacana keagamaan yang sangat doktriner.penuh nuansa ketakutan akan dosa, bencana dan siksa Tuhan. Tokoh-tokoh agama dengan penuh semangat membersihkan ajaran dari penyimpangan, sampai-sampai perlakuan tehadap pembangkang justru dihayati sebagai perjuangan akhlak dan kesalehan.
Pada abad pertengahan, semangat ke agamaan sangat menggebu-gebu bahkan kelewat menggebu sehingga tidak jarang justru melupakan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan. Orang bicara tentang Agama, tentang dogma-dogma tapi lupa pada salah satu hakikat Agama yaitu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Munculah kemudia gerakan awam yang ingin mengembalikan kehidpan kepada kebebasan pribadi yang kritis dan mandiri. Acuannya adalah situasi era Yunani kuno ketika rasionalitas dan kebebasan manusia dijunjung tinggi. Terjadilah pergeseran cara berpikir dari teologis-dogmatis ke antroposentris dan kritis.
Indonesia belakangan ini, tidak jauh berbeda dari situasi itu. Wacana keagamaan juga menggebu-gebu, orang sering mengatas namakan agama untuk melakukan suatu tindakan. Ayat-ayat suci ( dari berbagai agama ) bertebaran dimana-mana. Klaim-klaim yang paling benar dan yang paling bisa masuk surgapun menjadi jamak. Begitu majunya wacana keagamaan sampai-sampai seolah-olah manusia atau lembaga tertentu bisa menentukan seseorang bisa masuk surga atau neraka, martir, syuhada atau bukan.
Persis dengan situasi abad pertengahan, sekarang ini terjadi reduksi rasionalitas. Orang tidak rasional dan menyerahkan segalanya kepada kekuata supranatural, adikodrati. Wajar kalau tempat tempat keagamaan penuh umat, tapi dukun-dukun dan paranormal, ramalan lewat SMS pun tidak kalah laris.
Keadaa itulah yang disebut dehumanisasi. Ironisnya, kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan itu justru terjadi ditengah-tengah maraknya wacana keagamaan. Lho apakah itu berarti bahwa meningkatnya kehidupan keagamaan mengakibatkan dehumanisasi? Bisa ya bisa tidak.
Ya..kalau agama dan Tuhan hanya dipandang sebagai pelarian dari ketidakberdayaan manusia menghadapi persoalan duniawi. Tidak kalau Agama dan tuhan justru disikapi sebagai ungkapan rasa syukur manusia atas kehidupan yang mereka peroleh di dunia.
Ya kalau Tuhan hanya dipandang sebagai tempat mengeluh dan meminta, sehingga manusia menghilangkan eksisitensinya sendiri sebagai mahluk paling mulia dimuka bumi ini.
Tidak kalau Tuhan disikapi sebagai yang Maha Kuasa yang menyanyagi dan mengasihi semua manusia tidak pandang bulu bagaimana, siapa manusia itu juga untuk berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri dan juga bagi sesamanya manusia dan bagi bumi ini.. Jangan-jangan banyak diantara kita memang cengeng dan tidak mandiri, hanya menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan dalam bingkai Agama.kita seperti anak-anak yang hanya mengeluh dan meminta kepada orang tuanya. Sayang kalau keyakinan Agama dan Tuhan justru mengurangi etos manusia sebagai mahlik paling mulai, yang punya akal pikiran dan kreatifitas untuk meningkatkan harkat dan martabatnya.
Mungkin ada baiknya kita merenungkan hal itu, siapa tahu bisa mendorong terwujudnya manusia-manusia unggul Indoneia. Tuhan tidak akan mengubah nasib sesorang, kecuali seseorang itu mau berusaha untuk merubah nasibnya sendiri.