Kamis, 20 November 2008

DEHUMANISASI


Banyak yang mengatakan pada saya bahwa salah satu kelemahan orang indonesia ialah cengeng, tidak mandiri, sedikit sedikit mengeluh pada Tuhan, sebentar-sebentar minta tolong pada Tuhan,Mau naik pangkat minta pada Tuhan ( memangnya Tuhan petugas yang ngurusi kenaikan pangkat apa?) mau lulus minta pada Tuhan….( kalau mau lulus ya belajar ) lalu dimana eksistensi diriya sebagai manusia?
Ibarat sikap orang tua pada anak-anaknya, Tuhan pasti tidak suka kalau manusia-manusia di bumi ini cengeng dan selalu menyerakahkan semua masalah pada Tuhan. Apa tidak kasihan padaTuhan karena harus menanggung banyak sekali keluhan dan permintaan dari jutaan manusia. Sikap cengeng dan merasa tidak berdaya seperti itu justru tidak bermoral, tidak bertanggung jawab dan lari dari kenyataan. manusia memiliki otoritas untuk mandiri menghadap semua masalah dan menentukan nasibnya sendiri. Tidak bergantung dengan orang lain. Dalam konteks itulah, eksistensi dan matabat manusia akan ditentukan di muka bumi ini. Manusia harus mempunyai etos yang tinggi untuk mengatasi berbagai persoalan dunia.
Mirip dengan ungkapan tersebut, Kenneth Phifer ( dalam esai The Faith of humanist ) menyatakan Tidaklah bermoral mengharapkan Tuhan untuk berkarya atas diri kita. Kita harus bertindak untuk menghentikan peperangan dan kejahatan serta brutalitas di abad ini dan abad yang akan datang. Kita memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu, kita memiliki kebebasan untuk menentukan tindakan kita sendiri.

Ungkapan itu mengingatkan saya kepada kondisi masyarakat indonesia akhir-akhir ini yang mirip dengan situasi abad pertengahan. Ketika itu Eropa diwarnai dengan wacana keagamaan yang sangat doktriner.penuh nuansa ketakutan akan dosa, bencana dan siksa Tuhan. Tokoh-tokoh agama dengan penuh semangat membersihkan ajaran dari penyimpangan, sampai-sampai perlakuan tehadap pembangkang justru dihayati sebagai perjuangan akhlak dan kesalehan.
Pada abad pertengahan, semangat ke agamaan sangat menggebu-gebu bahkan kelewat menggebu sehingga tidak jarang justru melupakan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan. Orang bicara tentang Agama, tentang dogma-dogma tapi lupa pada salah satu hakikat Agama yaitu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Munculah kemudia gerakan awam yang ingin mengembalikan kehidpan kepada kebebasan pribadi yang kritis dan mandiri. Acuannya adalah situasi era Yunani kuno ketika rasionalitas dan kebebasan manusia dijunjung tinggi. Terjadilah pergeseran cara berpikir dari teologis-dogmatis ke antroposentris dan kritis.

Indonesia belakangan ini, tidak jauh berbeda dari situasi itu. Wacana keagamaan juga menggebu-gebu, orang sering mengatas namakan agama untuk melakukan suatu tindakan. Ayat-ayat suci ( dari berbagai agama ) bertebaran dimana-mana. Klaim-klaim yang paling benar dan yang paling bisa masuk surgapun menjadi jamak. Begitu majunya wacana keagamaan sampai-sampai seolah-olah manusia atau lembaga tertentu bisa menentukan seseorang bisa masuk surga atau neraka, martir, syuhada atau bukan.
Persis dengan situasi abad pertengahan, sekarang ini terjadi reduksi rasionalitas. Orang tidak rasional dan menyerahkan segalanya kepada kekuata supranatural, adikodrati. Wajar kalau tempat tempat keagamaan penuh umat, tapi dukun-dukun dan paranormal, ramalan lewat SMS pun tidak kalah laris.
Keadaa itulah yang disebut dehumanisasi. Ironisnya, kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan itu justru terjadi ditengah-tengah maraknya wacana keagamaan. Lho apakah itu berarti bahwa meningkatnya kehidupan keagamaan mengakibatkan dehumanisasi? Bisa ya bisa tidak.
Ya..kalau agama dan Tuhan hanya dipandang sebagai pelarian dari ketidakberdayaan manusia menghadapi persoalan duniawi. Tidak kalau Agama dan tuhan justru disikapi sebagai ungkapan rasa syukur manusia atas kehidupan yang mereka peroleh di dunia.
Ya kalau Tuhan hanya dipandang sebagai tempat mengeluh dan meminta, sehingga manusia menghilangkan eksisitensinya sendiri sebagai mahluk paling mulia dimuka bumi ini.
Tidak kalau Tuhan disikapi sebagai yang Maha Kuasa yang menyanyagi dan mengasihi semua manusia tidak pandang bulu bagaimana, siapa manusia itu juga untuk berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri dan juga bagi sesamanya manusia dan bagi bumi ini.. Jangan-jangan banyak diantara kita memang cengeng dan tidak mandiri, hanya menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan dalam bingkai Agama.kita seperti anak-anak yang hanya mengeluh dan meminta kepada orang tuanya. Sayang kalau keyakinan Agama dan Tuhan justru mengurangi etos manusia sebagai mahlik paling mulai, yang punya akal pikiran dan kreatifitas untuk meningkatkan harkat dan martabatnya.
Mungkin ada baiknya kita merenungkan hal itu, siapa tahu bisa mendorong terwujudnya manusia-manusia unggul Indoneia. Tuhan tidak akan mengubah nasib sesorang, kecuali seseorang itu mau berusaha untuk merubah nasibnya sendiri.

Minggu, 16 November 2008



SPIRITUALISME

Seseorang yang menurut perhitungan langit dalam ilmu bazi ( baca: pakcek ) hanya akan berumur 50 tahun, ternyata bertahan hidup sampai 70 tahun. Ketika ditanya mengapa ia berhasil memperpanjang usia? Orang tersebut mengatakan bahwa dalam sisa-sisa kehidupannya, ia selalu berbuat baik kepada sesama. Ia membantu biaya penguburan orang mati, menolong orang yang kesulitan dan berusaha keras tidak menyakiti hati sesamanya.
Pengamat ilmu kuno dari China itu kemudian berkata bahwa perhitungan langit ternyata dapat terpatahkan oleh perbuatan perbuatan baik seseorang, meskipun seseorang itu sudah dinasibkan hanya berumur 50 tahun. Maka jangan menyerah pada ramalan atau prediksi masa depan. Semua itu bisa kita tangkal dengan perbuatan baik dan ikhlas, menembus batas-batas yang bersifat material dan fisik” katanya.
Cerita yang hampir sama sering kita dengar. Misalnya seorang yang sudah divonis tidak bisa bertahan hidup karena sakit, tapi justru sembuh total,Mahasiswa yang oleh rekan-rekannya dicap sebagai mahasiswa MDS alias masa depan suram malah sukses dikemudian hari.
Seorang Bapak yang terserang stroke berbulan-bulan hanya terbaring ditempat tidur, tiba-tiba sembuh total bahkan tidak ada lagi tanda-tanda sernagan penyakit itu. Kepada saya ia berkata” jangan menyerah, jangan mau dipermainkan oleh hidup.kita justru harus mampu mempermainkan hidup. Cerita-cerita itu mengajarkan bahwa nasib manusia ditangan manusia. Tuhan tidak akan mengubah nasib manusia kalau manusia tiak berusaha mengubahnya sendiri. Spirit inilah yang menjadi inti spiritualisme.

Spiritualisme sendiri merupakan bentuk karakteristik sistem pemikiran yang meyakini eksistensi realitas immaterial yang tidak dapat diserap oleh indera. Di Prancis gerakan ini dirintis oleh Victor Cousin bersama Royer Collard, reaksi melawan positivisme Auguste comte abad ke 19.
Di Amerika Serikat, spiritualisme bermula ditahun 1848, mengacu pada gerakan yang menaruh minat terhadap roh-roh orang mati. Di Italia, spiritualisme mengacu pada gerakan abad 20 yang dikenal sebagai spiritualisme Kristen. Yang berawal dari Gentile maupun eksistensialisme religius.
Pada dasarnya manusia adalah mahluk spiritual karena selalu terdorong oleh kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan mendasar : mengapa saya dilahirkan? Apakah makna hidup saya? Buat apa saya melanjutkan hidup saat lelah, depresi, atau merasa terkalahkan? Orang jawa mengemasnya dalam konsep sangkan paraning dumadi dan cakra manggilingan. Asal muasal manusia dan bahwa manusia itu berada dalam roda kehidupan yang beputar kadang diatas, kadang disamping atau kadang dibawah.
Danah Zohar dan Ian Marshall ( dalam spiritual Quotient) menulis, kita merasakan suatu kerinduan untuk melihat hidup kita dalam konteks yang lebih lapang dan bermakna, baik dalam keluarga, masyarakat, karier, agama,maupun alam semesta.
Spiritualisme menguatkan manusia ketika mengalami bencana atau menghadapi masa depan yang tidak menentu. Dengan spiritualisme, manusia dapat menembus rasa sakit, sengsara, musibah dan ramalan-ramalan tentang masa depan tidak berpengharapan.
Spiritualisme melihat makna yang lebih berarti daripada sekedar yang material phisik. Maka ketika menerima musibah, orangpun dapat mengatakan pasti ada hikmah dibalik musibah ini. Bahkan orang jawapun selalu mengatakn untung dibalik musibah. Misalnya ada kecelakaan yang menyebabkan kakinya cedera, ia msih berkata untung Cuma luka, nggak patah. Kalaupun ada yang patah masih bisa berkata untung hanya satu yang patah dst.
Spiritualisme mampu menjaga ketabahan dan kekuatan banyak orang yang menjadi korban bencana alam. Mereka menenmbus bencana-bencana itu menuju sesuatu yang transenden.
Dalam khsasanh budaya jawa, spiritualisme mengacu pada pola pikir, sikap dan perilaku yang mengutamakan hal-hal dibalik realitas yang terlihat dengan mata ( ora kasat mata ) : realitas dibalik realitas. Ungkapan khas yang mencerminkan pandangan ini adalah : sejatine kuwi ora ono opo-opo, sing ono kuwi dudu. ( sejatinya tidak ada apa-apa. Yang ada itu bukan!)
Menghadpi masa depan yang penuh ketidak pastian ( yang tentunya membuat panik ) Spiritualime adalah jawabannya. Seperti tulisan diatas yang berkayta bhwa orang dapat mengubah nasibnya kalau mampu dan mau berusaha.
Spiritualisme lebih efektif menjawab tantangan-tantangan hidup yang makin berat!
Itulah sebabnya John Naisbitt dan Patricia Abundance pernah mengatakan : Spirituality yes, formal religion no!

Sabtu, 15 November 2008

AKU DAN YUDHISTIRA


ini adalah foto aku dan yudhistira anakku yang pertama.Foto itu diambil di Pantai Kartini Rembang saat aku masih bertugas di Puskesmas Jaken Kabupaten pati.