
SPIRITUALISME
Seseorang yang menurut perhitungan langit dalam ilmu bazi ( baca: pakcek ) hanya akan berumur 50 tahun, ternyata bertahan hidup sampai 70 tahun. Ketika ditanya mengapa ia berhasil memperpanjang usia? Orang tersebut mengatakan bahwa dalam sisa-sisa kehidupannya, ia selalu berbuat baik kepada sesama. Ia membantu biaya penguburan orang mati, menolong orang yang kesulitan dan berusaha keras tidak menyakiti hati sesamanya.
Pengamat ilmu kuno dari China itu kemudian berkata bahwa perhitungan langit ternyata dapat terpatahkan oleh perbuatan perbuatan baik seseorang, meskipun seseorang itu sudah dinasibkan hanya berumur 50 tahun. Maka jangan menyerah pada ramalan atau prediksi masa depan. Semua itu bisa kita tangkal dengan perbuatan baik dan ikhlas, menembus batas-batas yang bersifat material dan fisik” katanya.
Cerita yang hampir sama sering kita dengar. Misalnya seorang yang sudah divonis tidak bisa bertahan hidup karena sakit, tapi justru sembuh total,Mahasiswa yang oleh rekan-rekannya dicap sebagai mahasiswa MDS alias masa depan suram malah sukses dikemudian hari.
Seorang Bapak yang terserang stroke berbulan-bulan hanya terbaring ditempat tidur, tiba-tiba sembuh total bahkan tidak ada lagi tanda-tanda sernagan penyakit itu. Kepada saya ia berkata” jangan menyerah, jangan mau dipermainkan oleh hidup.kita justru harus mampu mempermainkan hidup. Cerita-cerita itu mengajarkan bahwa nasib manusia ditangan manusia. Tuhan tidak akan mengubah nasib manusia kalau manusia tiak berusaha mengubahnya sendiri. Spirit inilah yang menjadi inti spiritualisme.
Spiritualisme sendiri merupakan bentuk karakteristik sistem pemikiran yang meyakini eksistensi realitas immaterial yang tidak dapat diserap oleh indera. Di Prancis gerakan ini dirintis oleh Victor Cousin bersama Royer Collard, reaksi melawan positivisme Auguste comte abad ke 19.
Di Amerika Serikat, spiritualisme bermula ditahun 1848, mengacu pada gerakan yang menaruh minat terhadap roh-roh orang mati. Di Italia, spiritualisme mengacu pada gerakan abad 20 yang dikenal sebagai spiritualisme Kristen. Yang berawal dari Gentile maupun eksistensialisme religius.
Pada dasarnya manusia adalah mahluk spiritual karena selalu terdorong oleh kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan mendasar : mengapa saya dilahirkan? Apakah makna hidup saya? Buat apa saya melanjutkan hidup saat lelah, depresi, atau merasa terkalahkan? Orang jawa mengemasnya dalam konsep sangkan paraning dumadi dan cakra manggilingan. Asal muasal manusia dan bahwa manusia itu berada dalam roda kehidupan yang beputar kadang diatas, kadang disamping atau kadang dibawah.
Danah Zohar dan Ian Marshall ( dalam spiritual Quotient) menulis, kita merasakan suatu kerinduan untuk melihat hidup kita dalam konteks yang lebih lapang dan bermakna, baik dalam keluarga, masyarakat, karier, agama,maupun alam semesta.
Spiritualisme menguatkan manusia ketika mengalami bencana atau menghadapi masa depan yang tidak menentu. Dengan spiritualisme, manusia dapat menembus rasa sakit, sengsara, musibah dan ramalan-ramalan tentang masa depan tidak berpengharapan.
Spiritualisme melihat makna yang lebih berarti daripada sekedar yang material phisik. Maka ketika menerima musibah, orangpun dapat mengatakan pasti ada hikmah dibalik musibah ini. Bahkan orang jawapun selalu mengatakn untung dibalik musibah. Misalnya ada kecelakaan yang menyebabkan kakinya cedera, ia msih berkata untung Cuma luka, nggak patah. Kalaupun ada yang patah masih bisa berkata untung hanya satu yang patah dst.
Spiritualisme mampu menjaga ketabahan dan kekuatan banyak orang yang menjadi korban bencana alam. Mereka menenmbus bencana-bencana itu menuju sesuatu yang transenden.
Dalam khsasanh budaya jawa, spiritualisme mengacu pada pola pikir, sikap dan perilaku yang mengutamakan hal-hal dibalik realitas yang terlihat dengan mata ( ora kasat mata ) : realitas dibalik realitas. Ungkapan khas yang mencerminkan pandangan ini adalah : sejatine kuwi ora ono opo-opo, sing ono kuwi dudu. ( sejatinya tidak ada apa-apa. Yang ada itu bukan!)
Menghadpi masa depan yang penuh ketidak pastian ( yang tentunya membuat panik ) Spiritualime adalah jawabannya. Seperti tulisan diatas yang berkayta bhwa orang dapat mengubah nasibnya kalau mampu dan mau berusaha.
Spiritualisme lebih efektif menjawab tantangan-tantangan hidup yang makin berat!
Itulah sebabnya John Naisbitt dan Patricia Abundance pernah mengatakan : Spirituality yes, formal religion no!
Seseorang yang menurut perhitungan langit dalam ilmu bazi ( baca: pakcek ) hanya akan berumur 50 tahun, ternyata bertahan hidup sampai 70 tahun. Ketika ditanya mengapa ia berhasil memperpanjang usia? Orang tersebut mengatakan bahwa dalam sisa-sisa kehidupannya, ia selalu berbuat baik kepada sesama. Ia membantu biaya penguburan orang mati, menolong orang yang kesulitan dan berusaha keras tidak menyakiti hati sesamanya.
Pengamat ilmu kuno dari China itu kemudian berkata bahwa perhitungan langit ternyata dapat terpatahkan oleh perbuatan perbuatan baik seseorang, meskipun seseorang itu sudah dinasibkan hanya berumur 50 tahun. Maka jangan menyerah pada ramalan atau prediksi masa depan. Semua itu bisa kita tangkal dengan perbuatan baik dan ikhlas, menembus batas-batas yang bersifat material dan fisik” katanya.
Cerita yang hampir sama sering kita dengar. Misalnya seorang yang sudah divonis tidak bisa bertahan hidup karena sakit, tapi justru sembuh total,Mahasiswa yang oleh rekan-rekannya dicap sebagai mahasiswa MDS alias masa depan suram malah sukses dikemudian hari.
Seorang Bapak yang terserang stroke berbulan-bulan hanya terbaring ditempat tidur, tiba-tiba sembuh total bahkan tidak ada lagi tanda-tanda sernagan penyakit itu. Kepada saya ia berkata” jangan menyerah, jangan mau dipermainkan oleh hidup.kita justru harus mampu mempermainkan hidup. Cerita-cerita itu mengajarkan bahwa nasib manusia ditangan manusia. Tuhan tidak akan mengubah nasib manusia kalau manusia tiak berusaha mengubahnya sendiri. Spirit inilah yang menjadi inti spiritualisme.
Spiritualisme sendiri merupakan bentuk karakteristik sistem pemikiran yang meyakini eksistensi realitas immaterial yang tidak dapat diserap oleh indera. Di Prancis gerakan ini dirintis oleh Victor Cousin bersama Royer Collard, reaksi melawan positivisme Auguste comte abad ke 19.
Di Amerika Serikat, spiritualisme bermula ditahun 1848, mengacu pada gerakan yang menaruh minat terhadap roh-roh orang mati. Di Italia, spiritualisme mengacu pada gerakan abad 20 yang dikenal sebagai spiritualisme Kristen. Yang berawal dari Gentile maupun eksistensialisme religius.
Pada dasarnya manusia adalah mahluk spiritual karena selalu terdorong oleh kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan mendasar : mengapa saya dilahirkan? Apakah makna hidup saya? Buat apa saya melanjutkan hidup saat lelah, depresi, atau merasa terkalahkan? Orang jawa mengemasnya dalam konsep sangkan paraning dumadi dan cakra manggilingan. Asal muasal manusia dan bahwa manusia itu berada dalam roda kehidupan yang beputar kadang diatas, kadang disamping atau kadang dibawah.
Danah Zohar dan Ian Marshall ( dalam spiritual Quotient) menulis, kita merasakan suatu kerinduan untuk melihat hidup kita dalam konteks yang lebih lapang dan bermakna, baik dalam keluarga, masyarakat, karier, agama,maupun alam semesta.
Spiritualisme menguatkan manusia ketika mengalami bencana atau menghadapi masa depan yang tidak menentu. Dengan spiritualisme, manusia dapat menembus rasa sakit, sengsara, musibah dan ramalan-ramalan tentang masa depan tidak berpengharapan.
Spiritualisme melihat makna yang lebih berarti daripada sekedar yang material phisik. Maka ketika menerima musibah, orangpun dapat mengatakan pasti ada hikmah dibalik musibah ini. Bahkan orang jawapun selalu mengatakn untung dibalik musibah. Misalnya ada kecelakaan yang menyebabkan kakinya cedera, ia msih berkata untung Cuma luka, nggak patah. Kalaupun ada yang patah masih bisa berkata untung hanya satu yang patah dst.
Spiritualisme mampu menjaga ketabahan dan kekuatan banyak orang yang menjadi korban bencana alam. Mereka menenmbus bencana-bencana itu menuju sesuatu yang transenden.
Dalam khsasanh budaya jawa, spiritualisme mengacu pada pola pikir, sikap dan perilaku yang mengutamakan hal-hal dibalik realitas yang terlihat dengan mata ( ora kasat mata ) : realitas dibalik realitas. Ungkapan khas yang mencerminkan pandangan ini adalah : sejatine kuwi ora ono opo-opo, sing ono kuwi dudu. ( sejatinya tidak ada apa-apa. Yang ada itu bukan!)
Menghadpi masa depan yang penuh ketidak pastian ( yang tentunya membuat panik ) Spiritualime adalah jawabannya. Seperti tulisan diatas yang berkayta bhwa orang dapat mengubah nasibnya kalau mampu dan mau berusaha.
Spiritualisme lebih efektif menjawab tantangan-tantangan hidup yang makin berat!
Itulah sebabnya John Naisbitt dan Patricia Abundance pernah mengatakan : Spirituality yes, formal religion no!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar